Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net TITIAN ILMU
Glitter Text Generator at TextSpace.net
Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Januari 2020

Makam Pangeran Purbaya Tegal

Makam Pangeran Purbaya Tegal






Dikisahkan  bahwa Purbaya memiliki suatu kesaktian, Diantaranya yaitu menembang pohon jati yang nantinya digunakan sebagai saka guru pembangunan Masjid Kalisoka dengan tangan kosong pada acara sayembara yang digelar oleh Ki Gede Sebayu merupakan salah satu  kelebihan yang dimiliki olehnya. Pada akhirnya Purbaya menjadi pemenangnya dan dikahkan dengan putri Ki Gede Sebayu, Raden Ayu Giyanti Subalaksana.
Tumenggung Tegal alias Purbaya wafat dunia pada 18 Agustus 1636. Pada waktu itu dimakamkan di sebelah barat Masjid Kewalian Kalisoka atau biasa disebut Masjid Kalisoka. Nama pemakamannya adalah Pesarean Mbah Pangeran Purobaya. Istri beliau dimakamkan juga di di tempat itu bersamaan dengannya.

Kiprah dan kisah  Purbaya atau dalam sejarah disebut juga dengan Tumenggung Tegal ini sangat penting dalam Mataram, yang merupakan sebagai juru runding dan pemimpin pasukan bersama Tumenggung Bahureksa. Maka Tumenggung segala macam armada laut di kerahkan banyak sekali.
Pemakaman ini dibagi menjadi beberapa area,Dimana area  terluar pemakaman yang menerapkan di umum warga sekitar dan area dalam merupakan pemakaman sanak famili atau keturunan Pangeran Purbaya atau Ki Gede Sebayu. Makam dari  Purbaya sendiri tertutup oleh Makam ini yaitu rendah sehingga orang harus menunduk jika masuk ke sini. Sama halnya seperti makam- makam yang lainnya makam Pangeran Purbaya juga tertutup rapat.
Sekitar 50 meter ke arah selatan masjid ada tempat khalwatyang seperti tempat bersemedi Pangeran Purbaya.Tempat pemakaman yang bersejarah ini juga banyak yang mengunjungi biasanya untuk para warga untuk berdoa dan banyak bila sedang masuk hari libur tiba banyak pengunjung yang berdatangan ke sini.

Masjid Pangeran Purbaya Tegal, Konon Dibangun dalam Waktu Semalam


Masjid Pangeran Purbaya Tegal, Konon Dibangun dalam Waktu Semalam







Sebuah bangunan masjid kuno di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, memiliki nilai sejarah mengenai berdirinya wilayah Tegal. Masjid tersebut adalah Masjid Kasepuhan Pangeran Purbaya yang berada di Desa Kalisoka, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal.

Bangunan tempat ibadah ini tergolong sederhana. Lokasinya berada di area makam Pangeran Purbaya alias Sayyid Abdul Ghofar, menantu dari Ki Gede Sebayu, pendiri Tegal. Di balik bangunan yang sederhana itu tersimpan sejarah yang menarik dan penting untuk di ketahui.

Zamzami, salah satu tokoh keluarga dari Kasepuhan Kalisoka menyebut, masjid Pangeran Purbaya ini sangat erat kaitannya dengan nama Kota Slawi dan Bendung Danawarih. Sebab, setelah membendung sungai Gung, Ki Gede Sebayu menggelar sayembara untuk merobohkan pohon jati yang akan digunakan untuk membangun masjid Kalisoka.

"Dari sayembara itu, ada 25 peserta yang terbagi dua. Kelompok pertama dari mantri atau pengikut Ki Gede Sebayu dan kelompok satunya peserta dari luar. Dari jumlah 25 peserta inilah, yang kemudian lokasinya dinamakan Slawi. Slawi berasal dari bahasa jawa selawe yang artinya 25," ujar Zamzami.


Adapun tempat para mantri itu dikenal dengan Dukuh Preman, sementara pohon jatinya ada di Jatiwala yang sekarang Desa Jatimulya. Lokasi tempat peserta menebang (babak) pohon jati disebut Babakan.

Dari sayembara yang digelar pada tahun 18 Mei 1601 tersebut, lanjut Zamzami, Pangeran Purbaya memenangkan sayembara. Pangeran Purbaya
kemudian dijadikan menantu Ki Gede Sebayu dengan menikahkan dengan anaknya, Raden Ayu Giyanti Subalaksana.

Ki Gede Sebayu kemudian menugasi menantunya yakni Pangeran Purbaya menjadi ulama syiar Agama Islam dan putranya Ki Hanggawana sebagai umaro atau pemimpin pemerintahan. Kata Zamzami, ini memiliki makna yang bisa dipelajari adalah ulama dan umaro harus saling mendukung.

"Konon dari cerita masyarakat dalam membangun masjid hanya membutuhkan waktu sehari semalam dan masyarakat tidak ada yang tahu," ujar Zamzami.

Bangunan masjid Pangeran Purbaya juga punya keunikan, yakni tidak ada kubah tapi punya menara. Di bawah menara ada sumur yang digunakan untuk berwudlu.

Semua bagiannya masih asli baik bentuk maupun arsiteknya sejak pertama dibangun. Hanya saja pada tahun 1955, menurut Zamzami, ada penambahan tempat ibadah, tapi tidak merombak struktur bangunan.

Karomah Syekh Abdul Ghofar Wali Penyebar Islam di Tegal

Karomah Syekh Abdul Ghofar Wali Penyebar Islam di Tegal






Pangeran Purbaya atau Sayyid Abdul Ghofar adalah salah satu putra dari Sultan Agung, raja Mataram Islam yang terkenal. Abdul Ghofar diyakini pernah menetap di Desa Kalisoka, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal untuk menyiarkan Islam hingga akhir hayatnya. Karenanya sosoknya dikenal sebagai Pangeran Purbaya Tegal.


Sosoknya juga dipercaya sebagai seorang wali yang memiliki karomah atau kesaktian yang bersumber dari Allah SWT.


Di Kalisoka, dia mendirikan masjid dan pesantren untuk mendukung kegiatan syiarnya. Di masjid dan pesantrean itu rutin digelar pengajian untuk masyarakat. Keberadaan masjid dan pesantren ini membuat Desa Kalisoka juga dikenal dengan nama Kalisoka Pesantren.

Pesantren ini pun menjadi pusat penyebaran Islam di daerah Tegal ratusan tahun lalu. Namun kini keberadaan pesantren yang tersebut menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Adiwerna Tegal sudah tak berbekas.


Hanya bangunan masjid yang masih kokoh berdiri dengan beberapa bagian bangunan masih asli dan digunakan masyarakat setempat untuk beribadah. Di masjid inilah, jejak-jejak Pangeran Purbaya Tegal atau Abdul Ghofar, pendiri pesantren, masih bisa dijumpai.


Di Kalisoka juga, Abdul Ghofar wafat dan dimakamkan. Makamnya hingga kini masih diziarahi puluhan ribu orang setiap malam Jumat kliwon untuk berdoa dan ngalap berkah. Para peziarah datang berbagai daerah di Tanah Air.


Menurut juru kunci makam Pangeran Purbaya, Ahmad Agus Hasan Ali Sosrodiharjo (63) kedatangan Pangeran Purbaya ke Kalisoka bermula ketika dia meyanggupi tantangan ayahnya Sultan Agung untuk menangkap Pangeran Pasingsingan, dari Jawa Barat.


Raja Mataram tersebut mengeluarkan perintah penangkapan karena Pasingsingan dianggap mengganggu ketenteraman keraton.


"Pada saat itu di keraton, keluarga besar Mataram mau makan diganggu oleh Pasingsingan dari luar keraton dengan kesaktiannya. Semua makanan dibuat hilang. Kanjeng Sultan Agung marah besar. Lalu beliau mengumpulkan putra-putrinya dan bertanya siapa yang bisa menangkap Pasingsingan. Yang mengangkat tangan Pangeran Purbaya," ujarnya.


Berdasarkan cerita yang didengar Ahmad leluhurnya yang juga menjadi juru kunci, Pangeran Purbaya dengan nama samaran Ki Jadug Silarong kemudian berangkat ke arah utara untuk menangkap Pasingsingan dengan membawa dua batalyon pasukan keraton.


Setelah melewati sejumlah daerah seperti Purworejo, Purbalingga, dan Purwokerto, Pangeran Purbaya akhirnya bertemu dengan Pasingsingan di sebuah tegalan yang kini masuk wilayah Kota Tegal.


Keduanya lalu bertarung dengan kesaktian yang dimiliki masing-masing hingga Pasingsingan kewalahan dan kabur ke arah selatan Tegal, ke sebuah daerah yang kini masuk wilayah Brebes.


Di daerah yang berupa pesawahan, Pasingsingan sujud dan minta maaf kepada Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya kemudian memaafkan.

Sedangkan perjanjian dengan ayahnya, kalau tidak bisa menangkap Pasingsingan, Pangeran Purbaya tidak boleh kembali lagi ke keraton.


"Akhirnya Pangeran Purbaya jalan lagi ke utara, dan sampai di daerah yang sekarang bernama Kalisoka. Saat itu Kalisoka masih berupa hutan. Jadi Pangeran Purbaya babat alas," katanya.


Menurutnya, Pangeran Purbaya memiliki istri yang merupakan anak dari Ki Gede Sebayu, sosok ulama yang dipercaya sebagai pendiri Kabupaten Tegal.


Sebelum bisa mempersunting putri Ki Gede Sebayu yaitu Raden Rara Giyanti Subhalaksana tersebut, Pangeran Purbaya lebih dulu harus mengikuti sayembara bersama 24 raja dari sejumlah daerah. Sayembaranya adalah merobohkan sebuah pohon jati raksasa (karena berukuran sangat besar) di sebuah wilayah yang kini bernama Adiwerna.


"Sayembaranya merobohkan pohon jati tanpa alat. Tangan kosong. Ternyata yang 24 orang nggak mampu. Yang mampu hanya Pangeran Purbaya. Akhirnya Pangeran Purbaya dinikahkan dengan putri Ki Gede Sebayu.


Menurut Ahmad, pohon jati yang berhasil dirobohkan dengan cara ditendang itu kemudian diminta Anggowono putra Ki Gede Sebayu yang lain untuk dibawa Pangeran Purbaya ke Kalisoka dan kayunya digunakan untuk membangun masjid.


"Jadi masjid peninggalan Pangeran Purbaya terbuat dari jati yang digunakan dalam sayembara. Jati itu sangat besar. Tidak ada yang tahu bagaimana Pangeran Purbaya membawannya," kata Ahmad yang sudah 17 tahun menjadi juru kunci ini.


Ahmad mengatakan, dalam proses pembangunan masjid, Sayyid Abdul Ghofar juga berhubungan dengan Wali Songo. Bahkan dia meyakini Sayyid Abdul Ghofar adalah wali kesembilan.


"Pangeran Purbaya itu wali yang kesembilan dengan gelar Syekh Sayyid Abdul Ghofar Assegaf. Karena dia yang menyebarkan Islam di Kalisoka Tegal," ucapnya.


Selain makam Pangeran Purbaya, di dalam kompleks makam juga terdapat makam sejumlah keturunan dan murid Pangeran Purbaya dari Brebes, Tegal, dan Pemalang. Pangeran Purbaya sendiri memiliki enam anak, namun tidak seluruhnya terlacak jejaknya.


"Anak-anaknya bernama Ki Ageng Umar, Ramidin, Khanafi, Hasan Mukmin, Kiai Abdul Ghoni, dan Kiai Basar," ungkap Ahmad.

Senin, 13 Januari 2020

Kisah Ki Cokrojoyo, Sunan Geseng Dengan Karomahnya

Kisah Ki Cokrojoyo, Sunan Geseng Dengan Karomahnya







Sunan Geseng, atau sering pula disebut Raden Mas Cakrajaya atau Cokrojoyo, adalah murid Sunan Kalijaga. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga kepada Cokrojoyo karena begitu setia terhadap perintahnya sehingga merelakan badannya menjadi hangus (geseng).


Berdasarkan silsilah Jawa Raden Mas Cokrojoyo adalah keturunan Prabu Brawijaya dengan Dewi Rengganis, yang melahirkan Raden Rara Rengganis II. Kemudian Ki Ageng Pakotesan menikah dengan Raden Rara Rengganis II melahirkan Pangeran Semono atau sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono inilah lahir Raden Mas Cokrojoyo.



Berdasarkan Babad Tanah Jawi, pertemuan Cokrojoyo dengan Kalijaga diyakini saat Kanjeng Sunan melakukan perjalanan syiar ke daerah Bagelan (kini masuk Purworejo) untuk menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.



Setiba di daerah Bagelan, Sunan Kalijaga singgah di rumah Cokrojoyo seorang penyadap aren untuk dijadikan gula memiliki kebiasaan bernyanyi (nembang) saat membuat gula aren.


Mendengar suara nyanyian Cokrojoyo, Sunan Kalijaga sangat takjub, kemudian dia memanggilnya untuk mendekat.



Ditanya oleh Kalijaga mengenai hasil penjualan dari gula aren tersebut. Dengan segera Cokrojoyo pun menjawab bahwa hasil gulanya bisa digunakan untuk fakir miskin.



Mendengar jawaban tersebut Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan Cokrojoyo untuk mengubah syair tembangnya dengan bacaan- bacaan dzikir dan pujian kepada Allah serta memintanya untuk memperlihatkan hasil gulanya kepada dia nanti.



Setelah memerintahkan hal tersebut kepada Cokrojoyo, Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Singkat cerita Cokrojoyo kembali melakukan kegiatan membuat gula aren dengan bernyanyi menggunakan syair barunya yang didapat dari Kanjeng Sunan.



Cokrojoyo sangat terkejut melihat gula hasil olahannya ternyata menjadi emas batangan. Sesaat setelah menyadari mukjizat tersebut Cokrojoyo memutuskan untuk mencari Sunan Kalijaga untuk mengucapkan terimakasih sekaligus memohon untuk dapat diterima sebagai murid Sunan Kalijaga.



Setelah menemukan keberadaan Kanjeng Sunan, Cokrojoyo mengutarakan maksud dan tujuannya. Mendengar apa yang disampaikan oleh Cokrojoyo kepada dia, Sunan Kalijaga memberikan syarat pada Cokrojoyo untuk tinggal di hutan hingga Kalijaga kembali ke tempat tersebut.



Dengan menancapkan tongkatnya, Sunan Kalijaga berpesan kepada Cokrojoyo agar menunggui tongkat tersebut sambil berdzikir kepada Allah SWT hingga mereka bertemu kembali.Dalam satu versi lainnya disebutkan Cokrojoyo diperintahkan sujud oleh Sunan Kalijaga di sebuah batu.



Bulan demi bulan telah lewat, sehingga tempat dimana Cokrojoyob berdzikir sambil menunggu tongkat Sunan Kalijaga telah ditumbuhi ilalang.



Seiring dengan waktu kemudian Sunan Kalijaga yang telah lama berkelana, teringat kepada calon muridnya yang telah lama dia tinggalkan.



Maka dia pun kembali ke hutan tempat dia dulu memerintahkan Cokrojoyo menunggui tongkatnya. Tapi Sunan tak menemukannya karena keadaan telah banyak berubah. Dia mencari kesana-kemari, dibantu beberapa muridnya yang lain.



Karena tak kunjung menemukan yang dicari, Sunan pun memerintahkan membakar ilalang yang lebat di hutan itu untuk memudahkan pencarian. Maka dibakarlah ilalang yang lebat itu oleh murid-murid Sunan Kalijaga. Api membubung tinggi, dan ilalang pun musnah.



Setelah api reda, dan lembah yang semula penuh dengan ilalang itu terang benderang dan tampaklah Cokrojoyo. Sekalipun api membakar ilalang di sekelilingnya.



Tapi, ajaib tubuh Cokrojoyo dan tongkat sang Sunan tak terbakar sedikitpun, hanya beberapa bagian bajunya yang terbakar.



Betapa terharunya Sunan Kalijaga menyaksikan kesetiaan dan kekuatan hati Cokrojoyo. Konon sejak saat itu Cokrojoyo diberi gelar Sunan Geseng oleh Sunan Kalijaga.



Setelah itu Sunan Geseng ditugasi berdakwah dan menjadi imam di daerah Lowanu, Purworejo, Jawa Tengah.



Beberapa waktu tinggal di Lowanu, kemudian dia menetap di Jolosytro, Bantul, Yogyakarta sampai akhir hayatnya. Sampai kini makam Sunan Geseng masih sering diziarahi banyak orang.


Kisah mengenai karomah Sunan Geseng juga terkenal di daerah Jatinom, Klaten. Mereka mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik. Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman daun nyiur.



Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, dia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Dia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.



Ki Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.



Setelah tersohor dengan nama Sunan Geseng, Sunan Kalijaga mengikut sertakan dalam majelis wali di Demak. Majelis Walipun mengangkat Sunan Geseng sebagai bendahara Kerajaan Demak Bintoro. Sunan Gesengpun diperintah untuk mempersiapkan makanan dan minuman untuk jamuan para tamu pelantikan Raden Fatah sebagai Sultan Demak.



Tinggal satu hari lagi hari pelantikan tiba, Sunan Kalijaga melihat ke dapur tempat persiapan jamuan. Alangkah terkejutnya, Sunan Kalijaga melihat tidak ada persiapan apa-apa.



Para juru masak segera ditanya Sunan Kalijaga, dan mereka mengatakan belum menerima segala keperluan untuk jamuan dari Sunan Geseng.



Sesegera mungkin Sunan Kalijaga mencari Sunan Geseng untuk diminta pertanggung jawaban. Sunan Geseng yang sedang asyik berdzikir kepada Allah SWT di masjid kaget akan datangnya gurunya.



Setelah Sunan Kalijaga menceritakan semuanya kepada Sunan Geseng, diapun terkejut dan memohon maaf karena dia lupa akan tugasnya sebab keasyikan berdzikir.



Segera mungkin Sunan Geseng pergi ke hutan, dia bingung apa yang harus dilakukan. Sementara acara tinggal besok pagi. Diapun berdoa agar segera diberikan petunjuk.



Ilham pun datang, Sunan Geseng segera mencari bambu dan memotongnya menjadi bagian pendek. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya Sunan Geseng segera bertemu dengan Sunan Kalijaga untuk melaporkan bahwa pekerjaannya hampir beres.



Setelah bertemu dengan Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga bingung dan bertanya,” Bagaimana bisa jamuan semua tersedia dengan hanya sebuah bambu pendek”. Sunan Geseng menjawab,” Tunggu dulu kanjeng, lihat dulu apa yang terjadi”.



Sesegera mungkin Sunan Geseng berdoa, dan tiba-tiba dari lubang bambu muncul suara dan keluar tempe yang cukup banyak. “hmmmm, hebat sekali. Apa bisa muncul tahu dari bambumu?”. Sunan Kalijaga bergumam. Segera Sunan Geseng berdoa dan walhasil tahupun keluar dari bambunya. Sunan Kalijaga berkata,” Lho...ini kan acara pelantikan raja masak lauknya cuma tahu tempe, apa bisa dari lubang kecil itu keluar kambing atau sapi?”.



Sunan Gesengpun berdoa, kambing dan sapipun keluar dari bambu. Akhirnya Semua keperluan untuk jamuan tercukupi dan acara pelantikan Raden Patah sebagai sultan pun sukses digelar.



Sunan Gesengpun terus menyiarkan agama Islam hingga akhir hayatnya. Makam Sunan Geseng diyakini terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.



Selain itu makam Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di kaki Gunung Andong-dekat Gungung Telomoyo-secara administratif di bawah Kecamaan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.



Pada Bulan Ramadhan, pada hari ke-20 malam masyarakat banyak yang berkumpul di sekitar makam untuk bermunajat. Selain itu, di Desa Kleteran (terletak di bawah Desa Tirto) juga terdapat sebuah Pondok Pesantren yang dinamai Ponpes Sunan Geseng.



Ada sebuah makam yang konon juga makam Sunan Geseng, tepatnya di hutan diatas bukit kapur kurang lebih 10 km di sebelah timur Kota Tuban Jawa Timur, yang konon juga tempat Sunan Geseng bertapa di situ sampai akhirnya hutan terbakar, dan pada saat dia wafat diyakini dia juga dimakamkan di tempat itu.

Masjid Jami Kepuncen, Peninggalan Syekh Samsudin Guru Spiritual Sunan Amangkurat I

Masjid Jami Kepuncen, Peninggalan Syekh Samsudin Guru Spiritual Sunan Amangkurat I





Masjid Jami Pekuncen yang terletak di daerah Tegal Arum Kecamatan Adiwerna merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Tegal. Selain itu masjid peninggalan kerajaan Mataram Islam tersebut juga sebagai tempat wisata religi. Ciri khas desain arsitektur masjid kuno ini di bagian atap gentengnya yang beda dengan masjid kuno yang lainya.

Atap masjid dibuat dari bahan sirap berupa potongan kayu jati yang tersusun rapi dan kuat sehingga membentuk atap bangunan yang artistik khas kerajaan Islam zaman dahulu. Tentu saja hal itu tidak pernah lepas dari sejarah masjid ini yang merupakan peninggalan Syekh Samsudin, yang merupakan guru Spiritual Sunan Amangkurat I yang merupakan raja Mataram pada abad ke-16 Masehi.  

Adapun makam KH Samsudin atau syekh Samsudin terletak di belakang masjid Pekuncen. Sementara masjid  berada di kawasan situs purbakala makam keturunan raja Mataram dan makam para bupati Tegal pada zaman kerajaan Mataram. Berdasarkan catatan sejarah, Sunan Amangkurat I dilahirkan di Mataram tahun 1646 dan meninggal dunia pada tahun 1677 masehi dan antara tahun itulah Sunan Amangkurat mendirikan Masjid Pekuncen. Sunan Amangkurat I juga dikebumikan di areal wisata religi di dekat masjid tetapi sedikit jauh dari makam gurunya. 

Juru kunci makam Sunan Amangkurat I Masruri menjelaskan, masjid Pekuncen merupakan bangunan peninggalan Islam yang dibuat oleh Sunan Amangkurat I, yang dimaksudkan sebagai salah satu tempat penting untuk penyebaran Islam pada masa itu. “Sunan Amangkurat juga merupakan penyebar ajaran agama Islam di wilayah Tegal Arum. 

Hal itu terbukti dari adanya masjid jami Pekuncen yang hingga sekarang masih berdiri kokoh,“ katanya. Sementara di daerah lain, Sunan Amangkurat I juga mendirikan masjid yang fungsinya sama yaitu di daerah Sukaraja dan Ajibarang. Sedangkan masjid Pekuncen semula dibangun dengan sangat sederhana di Tegal Arum sebagai tempat awal penyebaran agama Islam, terutama bagi mayarakat setempat. 

Namun karena perkembangan zaman, maka kondisi masjid pun perlu direnovasi. Dan hal itu dilakukan hingga tiga kali, yang terakhir yalkni pada tahun 2009. Renovasi dilakukan tanpa meninggalkan cirri khas era kerajaan Mataram Islam. 

“Para perawat masjid Pekuncen diantaranya Dinas Purbakala Provinsi Jawa Tengah, Dinas Pariwisata Jawa Tengah, kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan dua pura kesultanan Yogyakarta,“ katanya. Selain itu juga, para perawat masjid tidak hanya merawat masjid tetapi juga merawat makam Sunan Amangkurat I yang merupakan keturunan keratin Mataram. 

Tampaknya juga para perawat juga menjaga keaslian masjid, terbukti hingga saaat ini , kubah masjid, bedug, dan mimbar masih tetap asli  persis seperti sejak kali pertama dibangun. “Sedangkan hamper seluruh bagian masjid dan yang laianya merupakan hasil pemugaran. Meski demikian, masjid tetap ramai terutama saat mamasuki waktu salat,“ jelasnya.


Kisah Pangeran Tegal Arum, Selama Masa Pemerintahan Sunan Amangkurat I

Kisah Pangeran Tegal Arum, Selama Masa Pemerintahan Sunan Amangkurat I






Setelah Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat, tahta Mataram diduduki oleh putranya Sunan Amangkurat I.
Amangkurat I memiliki karakter sepertinya dan memiliki visi yang sama soal Islam Kejawen. Berusaha menyingkirkan budaya Islam yang dipengaruhi barat dengan Islam Kejawen. Demi tegaknya kejawen, Amangkurat I bahkan membunuh 6.000 ulama.
Sunan Amangkurat I adalah putera kandung dari seorang raja Kerajaan Mataram Islam yang tersohor namanya sampai saat ini, yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo atau yang sering disebut juga dengan Sultan Agung.
Kemudian Ibunda dari Sunan Amangkurat I adalah Kanjeng Ratu Batang, yang mempunyai gelar RATU WETAN.Beliau ini adalah puteri dari Tumenggung Upasanta, yang memerintah wilayah Batang pada waktu itu.
Sunan Amangkurat lahir pada sekitar tahun 1619, ketika lahir beliau bernama RADEN MAS SAYIDIN, kemudian sewaktu dinobatkan menjadi Raja ke 4 dari Kerjajaan Mataram Islam pada sekitar tahun 1646 beliau mempunyai gelar AMANGKURAT SENOPATI ING ALAGA NGABDURAHMAN SAYIDIN PANATAGAMA, atau gelar yang lain adalah SRI SUSUHUNAN AMANGKURAT AGUNG, selain itu beliau kuga sering disebut sebagai SUNAN GETEK.
Sebelum dinobatkan menjadi raja atau sewaktu beliau masih menjadi Putera Mahkota atau dalam istilah Keraton sering disebut juga dengan ADIPATI ANOM, gelar yang dimiliki oleh Amangkurat 1 adalah PENGERAN ARYA PRABU ADIPATI MATARAM.
Yang menjadi hal menarik dalam kisah Sunan Amangkurat I ini adalah , bahwa berdasarkan sumber informasi sejarah yang telah saya dapatkan, selama masa pemerintahan Sunan Amangkurat 1 ini bisa dikatakan merupakan suatu periode gelap yang pernah terjadi dalam sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Bisa disebut demikian karena konon kabarnya Sunan Amangkurat I ini sewaktu memerintah Kerajaan Mataram Islam menerapkan sistem DIKTATOR, yaitu sistem yang Keras dan Kejam. Hal ini kabarnya diterapkan hampir ke semua orang yang berani menentang semua kebijakan beliau, baik kepada Kawulo Mataram, Kerabat Istana , Keluarga Kerajaan, dan tentunya musuh dan kaum pemberontak yang menjadi pesaing beliau pada waktu itu.
Selain itu segala macam kebijakan yang beliau keluarkan pada waktu memerintah Kerajaan, banyak yang bertentangan dengan adat istiadat leluhur Kerajaan Mataram Islam yang berasal dari trah keturunan beliau.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan saya sebutkan beberapa hal yang menjadi suatu Kontroversi dan pertentangan dalam era pemerintahan Sunan Amangkurat I sewaktu memerintah Kerajaan Mataram Islam ;
1. Sunan Amangkurat I menerapkan sistem kerja paksa terhadap KAWULO MATARAM (rakyat Kecil) dalam pembangunan istana keraton Pleret.
2. Sunan Amangkurat I mewajibkan bayar pajak yang tinggi terhadap hasil pertanian dan perikanan kepada Kawulo Mataram
3.Sunan Amangkurat I tega membunuh seorang Tumenggung yang berpengaruh di lingkungan Kerajaan Mataram waktu itu. Nama Tumenggung tersebut adalah TUMENGGUNG WIROGUNO. tumenggung ini padahal adalah tumenggung kepeecayaan dari Sultan Agung yang tidak lain merupakan ayah kandung dari Sunan Amangkurat I
4. Sunan Amangkurat I juga tega dan berani membunuh adiknya sendiri yang bernama PANGERAN ALIT. Pangeran Alit ini bahkan dibunuh bersamaan waktunya dengan kisah pembunuhan para ulama sebanyak kurang lebih 6000 ulama, yang dilakukan juga oleh para utusan Sunan Amangkurat I
5. Kemudian Sunan Amangkurat I juga tega membunuh seorang pamannya sendiri yang bernama PANGERAN PEKIK beserta para keluarganya, dimana pangeran pekik ini bisa dibilang sebagai paman dari Sunan Amangkurat I
6.Kemudian Sunan Amangkurat I kabarnya juga tega membunuh para selir yang berkaitan erat dengan kisah meninggalnya RATU TRUNTUM atau RATU MALANG.
7. Selain itu Sunan Amangkurat I juga tega menjebak salah satu puteranya yang bernama PANGERAN SINGOSARI dalam kisah pertempuran melawan pasukan pemberontak Trunojoyo. Pangeran Singosari ini sengaja dijebak kemudian dibunuh dalam suatu pertempuran melawan pasukan Madura dibawah kepemimpinan Trunojoyo
8. Kemudian Sunan Amangkurat I juga tega membunuh aeorang ulama yang berpengaruh di Lingkungan Kerajaan Mataram waktu itu. Ulama itu bernama RADEN DATUK.
9. Kemudian Sunan Amangkurat I, memutuskan untuk bekerjasam sama VOC, dalam sistem perdagangan, padahal dalam era pemerintahan ayahnya , VOC merupakan musuh utama Kerajaan Mataram.
Itulah berbagai kisah kelam yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Mataram dibawah Pemerintahan Sunan Amangkurat I.
Mungkin masih banyak kisah kelam yang tidak tercatat dalam sejarah Kerajaan Mataram pada waktu itu.
Sunan Amangkurat I meninggal pada tahun 1677, ketika itu beliau melarikan diri dari istana Keraton Pleret karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo dari wilayah Madura.



Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tetapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.

Rabu, 25 Desember 2019

Kisah Sahabat Nabi Abdullah bin Umar, Menghindari Jabatan dan Anti Kekerasan

Kisah Sahabat Nabi Abdullah bin Umar, Menghindari Jabatan dan Anti Kekerasan





Abdullah bin Umar bin Khattab atau sering disebut Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 - wafat 693/696 atau 72/73 H) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattab, salah seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang kedua.

Abdullah bin Umar sangat bergairah ketika panggilan jihad berkumandang. Namun sungguh suatu keanehan, ia juga anti kekerasan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam.


Kendati berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah, namun tawaran itu ditolaknya. Hasan ra meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada anda!"



Namun Ibnu Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku."



Massa di luar mengancam, "Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!"



Diancam begitu Ibnu Umar tak tergerak. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan. Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak.



Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah (kelompok), bahkan saling mengangkat senjata. Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar. "Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu," kata mereka.



"Kenapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" jawab Ibnu Umar heran.



"Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."



"Aku tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."



Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar. "Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya."



"Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur?"



"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."



"Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku," kata Ibnu Umar.



Penolakan Ibnu Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata, 'marilah shalat', akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'marilah menuju kebahagiaan' akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'marilah membunuh saudara kita seagama dan merampas hartanya', maka saya katakan, tidak!"



Hal ini bukan karena Ibnu Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih jika umat Islam terpecah dalam beberapa golongan. Ia tak suka berpihak pada salah satunya.



Meskipun pada akhirnya ia pernah berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tidak mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka."



Seseorang menggugatnya, kenapa ia tidak membela Ali dan pengikutnya jika ia merasa Ali di pihak yang benar.



Ibnu Umar menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim."

Minggu, 08 Desember 2019

Kisah Bilal bin Rabah, Muadzin Pertama yang Langkahnya Terdengar Hingga Ke Surga


Kisah Bilal bin Rabah, Muadzin Pertama yang Langkahnya Terdengar Hingga Ke Surga







Bilal bin Rabah ( sekitar 580–640 Masehi; Bilal al-Habsyi, Bilal bin Riyah, Ibnu Rabah) adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang masuk Islam ketika masih diperbudak.



Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.
Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.
Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam. 

Tak hanya menjadi muadzin pertama, Bilal pun mempunyai kedudukan yang istimewa di sisi Rasulullah SAW. Bahkan Bilal pun telah digaransi masuk surga oleh Rasulullah SAW. Lebih istimewa lagi, suara langkah kaki Bilal pun terdengar hingga ke surga. Saat itu, Rasulullah SAW mendengar suara sandal Bilal saat Rasulullah SAW berada di surga pada malam Isra Mi’raj.

Dikisahkan bahwa selepas salat subuh berjamaah, Rasulullah SAW memanggil Bilal dan bertanya, “Katakanlah kepadaku, apa amalanmu yang paling besar pahalanya yang kamu kerjakan dalam Islam? Karena sesungguhnya aku mendengar hentakkan sandalmu di surga.” Kemudian Bilal pun menjawab, “Setiap aku berwudhu, kapanpun itu, baik siang maupun malam, aku selalu melakukan salat dengan wudhu tersebut.”
Rupanya, Bilal bin Rabah merupakan orang yang selalu menjaga wudhu dalam setiap kegiatannya sehari-hari. Ketika wudhunya batal, Bilal pun akan kembali berwudhu lagi lalu melakukan salat dua rakaat setelah wudhu. Amalan tersebutlah yang membuat Bilal begitu istimewa hingga suara sandalnya pun terdengar hingga ke surga.
Sebagaimana dari Abu Hurairah RA, beliau RA mengatakan, “Rasulullah SAW bersabda kepada Bilal setelah menunaikan salat subuh, ‘Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam Islam. Karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.’ Bilal RA menjawab, ‘Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan salat (sunah) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci (wudhu) dengan sempurna di waktu siang ataupun malam.” (HR. Muslim)
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alalfalaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Recent Comment

Statistic Blog

Anda Pengunjung Ke

Total Tayangan Halaman

Al Qur'an

Semoga Bermanfaat Bagi Pembaca
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.