Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net TITIAN ILMU
Glitter Text Generator at TextSpace.net
Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Sabtu, 07 Desember 2019

Ki Gede Sebayu Tokoh Sesepuh dan Pendiri Kabupaten Tegal

Ki Gede Sebayu Tokoh Sesepuh dan Pendiri Kabupaten Tegal





Berdasarkan sejarah Ki Gede Sebayu adalah keturunan bangsawan dari garis Batoro Katong atau Syech Sekar Delima (Adipati Wengker Ponorogo). Ayah Ki Gede Sebayu memiliki nama Pangeran Onje (Adipati Purbalinga). Sejak kecil ia diasuh oleh busutnya yaitu Ki Ageng Wunut yang selama hidupnya menekuni Agama Islam.

Hal tersebut membawa dampak bagi perkembangan Ki Gede Sebayu yang tumbuh menjadi anak yang berperilaku ramah dan santun. Setelah menginjak dewasa, Ki Gede Sebayu oleh ayahnya disuwitakan di Keraton Pajang yaitu Kasultanan Adiwijaya. sebagai prajurit tamtama sehingga Ki Gede Sebayu memperoleh pendidikan keprajuritan dan ilmu kanuragan.

Ketika Aryo Pangiri berkuasa menggantikan Kesultanan Pajang, Ki Gede Sebayu pergi meninggalkan Pajang menuju Desa Sedayu. Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu Raden Ayu Rara Giyanti Subhaleksana menikah dengan Ki Jadug (Pangeran Purbaya) dan Raden Mas Hanggawana.

Ketokohan Ki Gede Sebayu mulai tampak ketika terjadi perang antara Kerajaan Pajang dan Jipang. Ki Gede Sebayu bergabung dengan prajurit Mataram bersama Pangeran Benowo untuk menyingkirkan Aryo Pangiri. Ketika itu Ki Gede Sebayu dengan tombak pendeknya menyerang prajurit Pajang sehingga banyak yang tewas dan akhirnya Aryo Pangiri menyerah dan diusir dari Keraton Pajang.

Kemudian Keraton pajang diserahkan kepada Pangeran Benowo. Setelah selesai pertempuran (1587), Ki Gede Sebayu dan pengikutnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke arah barat dan sampai di Desa Taji (wilayah Bagelan) disambut oleh Demung Ki Gede Karang Lo.

Kemudian melanjutkan perjalanan ke Banyumas (Kadipaten Purbalingga) untuk ziarah ke makam ayah Ki Gede Sebayu dan akhirnya sampai di Desa Pelawangan kemudian menyusuri pantai utara ke arah barat dan sampailah di Kali Gung (Padepokan Ki Gede Wonokusumo). 

Kedatangan Ki Gede Sebayu bersama rombongan yang bermaksud “mbabat alas” membangun masyarakat tlatah Tegal disambut gembira oleh Ki Gede Wonokusumo. Ki Gede Sebayu mulai menyusun rencana dan strategi untuk melakukan pembangunan yaitu :
1.    Mengatur penempatan para pengikutnya sesuai dengan ketrampilan dan keahlian.
·         ahli kerajinan dan pertukangan ditempatkan di pusat perniagaan dan perdagangan
·         ahli pertanian ditempatkan di daerah pertanian yaitu dataran rendah dan tinggi
·         ahli kemasan, ahli tenun (termasuk keluarga Ki Gede Sebayu) .

2. Mencoba membudidayakan pertanian basah (persawahan irigasi) dengan membuat bendungan Kali Gung untuk mengairi persawahan penduduk dengan nama Bendungan Wangan Jimat, selain itu membuat Kali Jembangan, Kali Bliruk dan Kali Wadas yang terletak di Dukuh Kemanglen dengan sebutan Grujugan Curug Mas.

3. Untuk memenuhi kebutuhan rohani, Ki Gede Sebayu membangun masjid dan pondok pesantren di Dukuh Pesantren sebagai tempat kegiatan agama. Di sinilah diajarkan cara membaca Al-Qur’an, pengajian yang mengajarkan kewajiban muslim dalam menjalankan agamanya.

4.    Memberikan penamaan terhadap wilayah sesuai dengan kondisi daerah, seperti : Danawarih yang berarti memberi air, Slawi berarti tempat berkumpulnya para satria yang berjumlah selawe atau dua puluh lima yang dalam perkembangannya menjadi pusat kekuasaan (pangreh praja) di Kabupaten Tegal.

Ide dan pemikiran Ki Gede Sebayu memberikan banyak kemajuan bagi masyarakat Para petani dapat memanfaatkan alat-alat pertanian dengan adanya hasil kerajinan pandai besi. Pasar perdagangan semakin ramai karena banyak masyarakat yang memiliki ketrampilan pertukangan kayu, menjahit, pembuatan alat dapur dari tembaga, pertukangan emas dan sebagainya.

Taraf hidup masyarakat meningkat dengan didukung pembuatan jalan desa, pembangunan rumah penduduk yang dilakukan secara gotong royong , mengatur keamanan secara bersama-sama. Atas keberhasilannya dalam membangun Tegal maka pada tahun 1601 M atau 1523 Caka, Ingkang Sinuwun Kanjeng Panembahan Senopati Mataram mengangkat Ki Gede Sebayu sebagai Juru Demung (Penguasa Lokal di Tlatah Tegal) dengan pangkat Tumenggung setingkat Bupati.

Ki Gede Sebayu banyak mengbdi pada Pemerintah Kanjeng Sultan Adiwijaya, penguasa Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal, keadaan pemerintahan menjadi sangat kisruh dan banyak yang menjadi korban.
Melihat kondisi negeri seperti itu Ki Gede Sebayu beserta keluarganya meninggalkan negeri Pajang ke negeri Mataram, bermaksud sowan kepada Kanjeng Panembahan Senopati untuk menyampaikan rencana urbanisasi ke tlatah pesisir utara yaitu di tlatah Teggal.

Dengan restu dari Panembahan Senopati, Ki Gede Sebayu pergi ke tlatah Tegal yang diikuti oleh 40 pasangan keluarga terpilih yaitu mereka yang memiliki keahlian di berbagai bidang keterampilan.
Setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan akhirnya rombongan Ki Gede Sebayu sampai di tepian Kali Gung dan disambut oleh Ki Gede Wonokusumo, yaitu sesepuh dan penanggung jawab makam Pangeran Drajat (Mbah Panggung).

Mengetahui tujuan mulia dari kedatangan Ki Gede Sebayu ke tlatah Tegal yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka Ki Gede Wonokusumo dengan tulus ikhlas membantu menata rombongan Ki Gede Sebayu dengan menitipkan keluarga-keluarga dari rombongan itu ke daerah-daerah sepanjang Kali Gung.
Sesuai bidang-bidang keahlian masing-masing dan berakhir di Dukuh Karangmangu Desa Kalisoka (Kecamatan Dukuhwaru-sekarang) sesuai bidang keahlian yang dimilikinya. Kedatangan keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu di masing-masing daerah itu dapat memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan daerahnya.

Kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat, antara lain : pembudidayaan tanaman pangan, kerajinan emas dan tenun kain selendang. Di bidang kerohanian, didirikan pondok pesantren yang sampai sekarang masih terkenal.

Menyikapi perkembangan peningkatan kesejahteraan rakyatnya yang belum tampak nyata, sedangkan sebagian besar bermata pencaharian tani ladang ( tanah kering ) yang hasilnya kurang menguntungkan.

Ki Gede Sebayu beserta dua orang pengikut setianya, Ki Sura Lawayan dan Ki Jaga Sura berjalan sepanjang tepi Kali Gung ke selatan sampai di suatu igir gunung selapi. Dan munculah niat membangun bendungan untuk mengalirkan air dari Kali Gung ke persawahan.
Perkembangan selanjutnya, dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh Ki Gede Sebayu beserta pengikut dan masyarakat sekitarnya dalam membendung Kali Gung hingga menjadi sumber pengairan bagi pertanian di daerah sekitarnya yang kemudian disebut Bendungan Danawarih, daerah Tegal yang maju pesat ini, gaungnya sampai ke negeri Mataram.

Kemudian atas jasa-jasa Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah Tegal, oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Panembahan Senopati Sayyidin Penata Gama Ratu Bimantoro di negeri Mataram diangkat menjadi Juru Demang setarap dengan Tumenggung di Kadipaten Tegal pada Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau tanggal 12 Robiul Awal 1010 Hijriyah atau 1524 Caka.

Dengan berpedoman inilah disepakati sebagai Hari Jadi KabupatenTegal dan Sekaligus Ki Gede Sebayu dijadikan tokoh pendiri atau anutan masyarakat Kabupaten Tegal

Kisah Mbah Panggung, Murid Syekh Siti Jenar yang Tak Mempan Saat Dihukum Dibakar Hidup-hidup

Kisah Mbah Panggung, Murid Syekh Siti Jenar yang Tak Mempan Saat Dihukum Dibakar Hidup-hidup



Menelusuri perkembangan Islam di Kota Tegal, maka tidak akan lepas dari seorang wali yang disebut Mbah Panggung. Mbah Panggung dikenal sebagai wali yang konon menyebarkan Islam di pesisir pantai utara (Pantura), khususnya di Kota Tegal. Hal itu dibuktikan dengan adanya makam Mbah Panggung di Jalan KH Mukhlas No 5, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal.
Batu bata yang menjadi pagar di sekeliling makam Mbah Panggung disebut memiliki usia sama dengan batu bata makam Amangkurat 1 di Tegal Arum, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.
Ia bernama asli Sayyid Syarif Abdurrahman. Para ahli sejarah memperkirakan Mbah Panggung hidup di masa para Wali Sanga. Ia disebut sebagai murid dari Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

Sejawaran Wijanarto mengatakan, jejak perkembangan Islam yang paling tua di Kota Tegal disyiarkan oleh Mbah Panggung. Masyarakat pun menyakini hal itu. Namun menurut Wijan ada dua versi kisah Mbah Panggung.

Versi pertama, masyarakat percaya Syekh Abdurrahman merupakan seorang ulama yang berasal dari Timur Tengah. Ia datang ke bumi Nusantara untuk menyebarkan Islam di Kota Tegal. Sedangkan versi kedua, Mbah Panggung merupakan keturunan raja Majapahit dan hidup di masa Kerajaan Demak.

“Jika dilihat dari sejarah genologisnya, silsilah Mbah Panggung masih berhubungan dengan Raja Brawijaya V dan istrinya Putri Campa Dewi Murdaningrum. Keduanya dianugerahi anak bernama Raden Joko Jaduk yang bergelar Pangeran Malang Sumirang,”

Menurut Wijan, masa hidup Mbah Panggung antara abad ke- 15 atau 16. Ia mulanya seorang wali yang tinggal di Rembang, Kudus dan sekitarnya. Setelah adanya hukuman dari dewan wali untuk Mbah Panggung, namun tidak mempan. Syekh Abdurrahman pergi menyiarkan Islam dan berhenti di Kota Tegal.

Ia mengatakan, Mbah Panggung merupakan pengejewantahan dari ajaran Syekh Siti Jenar.
Ada ajaran dan perilaku Mbah Panggung yang di masa itu dianggap melenceng oleh dewan wali. Banyak yang menafsirkan Suluk Malang Sumirang merupakan ajaran jalan kegilaan Mbah Panggung kepada Tuhan.

Kemudian dibuatlah pula Dhandang Gula yang merupakan substansi dari ajaran Mbah Panggung. Itu disebut-sebut sebagai jalan gila menuju Tuhan atau thariq majnun rabbani. Apalagi di masa itu, ia memelihara dua ekor anjing yang diberi nama iman dan tokid (asal kata tauhid).

“Mbah Panggung pun dituding berada di jalan yang salah dalam menyiarkan Islam. Terlebih karena dua anjing itu. Melalui otoritas dewan wali, ia pun dipanggil ke Demak untuk dihukum,” jelasnya.

Wijan mengatakan, substansi ajaran Mbah Panggung menafsirkan dua anjing itu sebagai jelmaan nafsu manusia yang berbentuk hewan. Manusia dan anjing menjadi makhluk yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Sehingga dalam paham Mbah Panggung, antara manusia dan anjing tidak punya kehendak di luar kehendak pencipta-Nya.

Mbah Panggung juga disebut Sunan Geseng. Karena akibat ajarannya yang mengandung kontroversi. Ketika ia menghadap dewan wali, ia dijatuhi hukuman di bakar hidup-hidup. Masa hukuman itu setelah gurunya Syekh Siti Jenar dihukum.

“Mbah Panggung dibakar, namun tidak mempan. Dalam kobaran api itulah, tercipta Suluk Malang Sumirang. Setelah dihukum, kemudian Mbah Panggung berkelana dan menempat di wilayah Tegal,” katanya.

Namun Wijan menyayangkan, data tentang sejarah Islam di Indonesia di masa transisi Hindhu Budha tidak begitu banyak. Sejarah Islam baru ditulis setelah masa Kerajaan Mataram dengan adanya Babad Tanah Jawi.

Sekalipun demikian, bukti kebaradaan Mbah Panggung bisa dilihat dari pagar di area makam. Keberadaannya pun menjadi keselarasan makam-makam wali di sepanjang Pantura, dari Tuban, Lasem, hingga Tegal dan Brebes.

Wijan menilai pagar di area pemakaman Mbah Panggung sudah banyak yang rusak. Perlu ada rekontruksi untuk menjaga peninggalan yang ada. “Perlu direkontruksi. Karena bagaimana pun bata bata itu menjadi bukti bahwa bangunan itu punya nilai sejarah,” katanya.

Adapun Syekh Abdurrahman dijuluki sebagai Sunan Panggung , disebutkan panggung berarti pepohonan yang rimbun. Selain itu Sunan Panggung bergelar sinuhun yang dijunjung.

Sedangkan versi yang berkembang di masyarakat, penyebutan panggung karena pada saat itu wilayah Tegal merupakan pulau kecil yang berbentuk seperti panggung. Saat Mbah Panggung sampai ke Tegal, wilayah Tegal merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan. “Ada yang mengatakan daratan saat itu ada di wilayah kabupaten Tegal. Setiap habis berdakwah, Mbah Panggung kembali ke pulau kecil itu. Pulau kecil itu yang sekarang menjadi area pemakaman Mbah Panggung,” jelasnya.




















.




.





















Sejarah dan Asal Usul Kabupaten Tegal, Jawa Tengah

Sejarah dan Asal Usul Kabupaten Tegal, Jawa Tengah




Kabupaten Tegal merupakan wilayah yang kaya akan jejak peninggalan kesejarahan di kawasan jawa khusunya. Asal usul nama Tegal sendiri berasal dari penjelmaan sebuah desa yang bernama “Teteguall” tahun 1530 M, telah nampak kemajuannya dan termasuk wilayah Kabupaten Pemalang yang mengakui Trah (Kerajaan) Pajang. Ada beberapa sumber mengatakan sebutan teteguall diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500 –an (Suputro, 1955) yang memiliki arti tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian (Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984).

Secara historis dijelaskan bahwa eksistensi sejarah tlatah Kota Tegal tidak lepas dari ketokohan Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit, karena sang ayah Ki Gede Tepus Rumput (kelak bernama Pangeran Onje) ialah keturunan Batara Katong Adipati Ponorogo yang masih punya kaitan dengan keturunan dinasti Majapahit .

Penekanan pada bidang pertanian, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar kesejarahan tlatah Kabupaten Tegal yang mengembangkan kapasitasnya selaku wilayah agraris. Tradisi keagrarisan dimulai dari ketokoan Ki Gede Sebayu juru demung trah Pajang. Bangsawan ini (Ki Gede Sebayu) adalah saudara dari Raden Benowo. Bahkan kalau dirunut keagrarisan itu dimulai semenjak Mataram Kuno. Selain berhasil memajukan pertanian, beliau juga merupakan ahli agama yang telah membimbing warga masyarakat dalam menanamkan rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas keberhasilan usahanya memajukan pertanian dan membimbing warga masyarakat dalam menanamkan rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, beliau diangkat menjadi pemimpin dan panutan warga masyarakat.

Ki Gede Sebayu, yang masih keturunan trah Majapahit. Beliau memilih diam cegah dhahar lawan guling, karena prihatin. Bahkan pada saat suasana makin kacau karena perang saudara, Ki Ageng Ngunut (kakek Sebayu) mendesak Sebayu agar menyelamatkan Kerajaan Pajang. Namun, Sebayu menolak. Karena tidak merasa tega melihat penderitaan manusia akibat perebutan kekuasaan antar keluarga itu tidak kunjung reda. Beliau melepas atribut kebangsawanannya dan mengembara mencari hakekat hidup. Sampailah dia di sebuah daerah penuh ilalang, padang rumput luas dengan sungai yang dialiri air yang bening sampai muara laut. Sungai itu adalah sungai Gung (Kali Gung). Sungai ini dinamakan Kali Gung sebab bersinggungan dengan mata air yang berasal dari Gunung Agung yakni sebuah nama kuno dari Gunung Slamet dan bermuara ke utara hingga laut jawa.

Beliau terperangah melihat hamparan padang rumput luas yang nyaris tak berpenghuni itu. Ditengah- tengah hamparan padang rumput luas itu, ki gede Sebayu temukan Persinggahan disana hanya ada beberapa bangunan semipermanen yang dihuni sejumlah santri dan sebuah makam keramat.

Makam tersebut adalah tempat jenazah Sunan Panggung atau Mbah Panggung dikebumikan (sekarang bernama Desa Panggung). Mbah Panggung yang bernama asli As sayid al habib Abdurrohman as segaf putra dari Sunan Drajat dan Dewi Condrowati yang merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).

Terbersitlah di benak Sebayu untuk mengajari warga pesisir itu bercocok tanam. Dia merasa menemukan persinggahan yang menjanjikan, sehingga menghentikan pengembaraannya. Diajaknya warga setempat membabat alang-alang agar jadi tegalan. Selain itu, dia juga membuat bendungan di hulu sungai daerah Danawarih untuk dijadikan sumber air irigasi. Kesaksian ini diperkuat denga ditemukannya artefak kuno dan candi di desa Pedagangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pada agraris ( De Graaf, 1986).

Sementara itu, setelah perang panjang antar saudara mulai dingin Pangeran Benowo diangkat menjadi raja Pajang. Dia membutuhkan sepupunya. Sebayu, untuk menjadi patih. Dia pun mengutus sejumlah prajurit untuk mencari Sebayu. Di Desa Teteguall, tempat Sebayu bermukim, sepupu Benowo itu ditemukan. Namun, karena Sebayu tidak mungkin meninggalkan rakyat Teteguall, karena alasan tersebut Pangeran Benowo melantik dia menjadi juru demang atau sesepuh Desa Teteguall. Anugerah sebagai sesepuh desa diberikan pada Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau tanggal 12 Robiul Awal 1010 Hijriyah atau 1524 Caka.

Pengangkatan Ki Gede Sebayu menjadi Pemimpin pertama Tegal dilaksanakan pada perayaan tradisional setelah menikmati hasil panen padi dan hasil pertanian lainnya. Dalam perayaan juga dikembangkan ajaran dan budaya agama islam yang hingga sekarang masih berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Hari, tanggal dan tahun Ki Gede Sebayu diangkat menjadi Juru Demung (Bupati) itu ditetapkan sebagai hari jadi Kota Tegal dengan peraturan Daerah No.5 tahun 1988 tanggal 28 Juli 1988.



Kamis, 05 Desember 2019

Kisah Sahabat Nabi Abu Dzar Al-Ghifari, Tokoh Gerakan Hidup Sederhana

Kisah Sahabat Nabi Abu Dzar Al-Ghifari, Tokoh Gerakan Hidup Sederhana






Jundub bin Junadah bin Sakan atau lebih dikenal dengan nama Abu Dzar al-Ghifari atau Abizar al-Ghifari adalah sahabat Nabi Muhammad.

Ia datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung, namun sinar matanya bersinar bahagia. Memang, sulitnya perjalanan dan teriknya matahari yang menyengat tubuhnya cukup menyakitkan. Namun tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan meniupkan semangat kegembiraan.


Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka'bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.


Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan membunuhnya.


Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang mengatakan tentang Rasulullah, ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati. Sehingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat mengarahkannya ke kediaman Nabi Muhammad dan mempertemukannya dengan beliau.


Pada suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya Rasulullah sedang duduk seorang diri. Ia mendekat kemudian menyapa, "Selamat pagi, wahai kawan sebangsa."


"Wa alaikum salam, wahai sahabat," jawab Rasulullah.


"Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"


"Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur'an yang mulia," kata Rasulullah, kemudian membacakan wahyu Allah SWT.


Tak berselang lama, Abu Dzar berseru, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya."


"Anda dari mana, kawan sebangsa?" tanya Rasulullah.


"Dari Ghifar," jawabnya.


Bibir Rasulullah menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman Rasulullah setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu adalah seorang laki-laki dari Ghifar.


Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.


Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya..."


Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.


Lelaki yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya—orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.


Baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. "Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut anda?"


"Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!" jawab Rasulullah.


"Demi Tuhan yang menguasai jiwaku," kata Abu Dzar, "Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka'bah."


Ia pun menuju menuju Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang. Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik yang tengah berkumpul di sana. Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.


Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota. Kalau bukan karena takbir yang mereka teriakkan dengan suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah pasukan tentara musyrik yang akan menyerang kota.


Begitu rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.


Rasulullah semakin takjub dan kagum. Beliau bersabda, "Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya."


Pada suatu ketika, Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan kepadanya. "Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk diri mereka?"


Ia menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!"


"Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau menemuiku!"


Abu Dzar akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga tidak akan bungkam atau berdiam diri mengetahui kesesatan mereka.


Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental mereka satu per satu.


Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya pun belum pernah melihatnya. Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.


Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan. "Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!"


Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.


Abu Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya, "Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?"


Istrinya menjawab, "Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!"


"Janganlah menangis," kata Abu Dzar, "Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, 'Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.'


Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!"


Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi... Dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat sosok tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.


Ketika pandangan Ibnu Mas'ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!"

Recent Comment

Statistic Blog

Anda Pengunjung Ke

Total Tayangan Halaman

Al Qur'an

Semoga Bermanfaat Bagi Pembaca
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.